PEMERINTAHAN ASLI NGADA (DAN NAGEKEO)
SISTEM PEMERINTAHAN LOKAL
Sejarah mencatat bahwa sebelum
wilayah Indonesia berada dalam kekuasaan kolonialisme, imperialisme asing
khususnya Belanda telah terdapat puluhan kerajaan bahkan mungkin ratusan
kerajaan lokal. Mereka mengatur kelangsungan hidupnya dengan aturan-aturan
secara turun temurun dan sangat khas serta unik untuk dirinya sendiri.
Keseluruhan kerajaan itu, dalam arti “negara’ yang berdaulat. Keberadaan negara
bangsa itu sangat ditentukan oleh kemampuan para pendukungnya dalam
mempertahankan diri dari persaingan dan pertentangan diantara “negara”
kerajaan-kerajaan atau komunitas-komunitas yang ada ketika itu. Sehubungan
dengan itu berkembang pula suatu identitas diri yang amat diperlukan sebagai
kekuatan untuk mepertahan kan keberadaannya sesuai dengan tradisi mereka.
Demikian halnya dengan wilayah
yang kita sebut Ngada ini yang oleh penjajah Belanda dijadikan sebuah wilayah
administratif pemerintahan yang kemudian disebut Onder Afdeling Ngada. Wilayah
ini sebenarnya merupakan gabungan dari wilayah-wilayah yang lebih kecil yang
oleh Belanda dijadikan Landschap yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung yang
masing-masingnya memiliki budaya dan sitem pemerintahan sendiri berdasarkan
latar belakang budaya dan adat istiadatnya sampai kurang lebih Tahun 1907
ketika Belanda masuk wilayah ini. Setelah wilayah ini dikuasai Belanda
merubahnya dengan sistem Pemerintahan Belanda.
Mengenai sistem pemerintahan
lokal atau asli tidak banyak literatur yang menulis tentang hal ini kecuali
para misionaris Katolik yang pernah bertugas di wilayah ini seperti P. Paul
Arnt, SVD yang meneliti tentang Spritualitas Orang Ngada, bahasa dan budaya dan
lain-lain. Hasil wawancaranya dengan orang-orang tua pada masa itu dan cukup
banyak yang berhasil dikumpulkan dan ditulis. Selain P. Paul Arnt, SVD juga P.
Dr. Herman Yosef Bader, SVD (Sarana Etnologi Budaya dalam mata pelajaran ilmu
bangsa-bangsa pada SMAK Syuradikara Ende, 1953-1957 bersumber pada disertasi
doktoralnya yang berjudul “Der Künste Von Ngadha”. Senantiasa diangkatnya
menjadi contoh dalam mata pelajarannya. Disamping itu dijumpai refrensi tentang
budaya adat dan istiadat yang telah di kumpulkan oleh Yosep Tua Demu, BA dan
menulisnya dalam bentuk manuskrip. Beliau sering menjadi narasumber dalam
berbagai kesempatan seminar atau lokakarya terutama yang menyangkut budaya dan
banyak hal menarik yang perlu terus digali untuk diangkat ke permukaan. Juga
dapat dijumpai dalam keseharian ketika kita berada di kampung-kampung
tradisional yang masih ada, menanyakan berbagai hal yang menyangkut budaya dan
adat istiadat pada orang-orang yang dianggap mengerti budaya, kita akan
memperolehnya dengan mudah.
Menurut P. Herman Yosef Bader,
SVD, dalam disertasinya menulis bahwa orang Ngada berasal dari daratan Yunan
Selatan (Selatan Cina). Hal ini jika dikaitkan dengan ungkapan dalam ritus adat
Reba pada saat Sui Uwi, menyebutkan : “Puü Zili Sina One” yang secara harafiah
diartikan ”Dari Cina nun jauh di sana”. Banyak nama orang diberi nama Sina. Ine
Sina, Sina Dewa, dll. Demikianpun nama rumah adat atau Sao Meze : Lusi Sina,
Sina Ziä. Nama kampung seperti Piga Sina, Suri Sina, dan lain-lain.
Dalam tulisannya mengenai
pemerintahan asli, P. Herman Yosef Bader, SVD juga mengemukakan bahwa Ngada
mempunyai struktur kepemerintahan budaya yang berbentuk republik setingkat desa
yang berdemokrasi murni. Mereka mengenal struktur wilayah teritorial dalam
pemerintahannya (struktur genealogios).
STRUKTUR WILAYAH
TERITORIAL
Wilayah Ngada yang kita kenal
sekarang ini pada masa lampau lebih dikenal dengan nama”Ota Roja”. Nama ini
ditemukan dalam butir 60 kisah perjalanan panjang Orang Ngada dari negeri
asalnya yang menyebutkan ”Lau mai da toja gha nuka dia Roja” (Itulah dia yang
semakin tertuju ke Roja ini). Butir 61 mnyebutkan ”Dia gha tiwu lina, tiwa da
lina latu, sa bhege ba bheo pau” (telah tiba di teluk yang indah, ada secercah
cahaya, gamabaran adanya kehidupan). ” Oba nee Nanga da se....gha waebata”
(Leluhur Oba dan Nanga telah menaklukkan samudera). ”Sa lapa sa lazi neë maghi
padhi, sa teda sa ngeda neë peda mëra” (tanah yang ditunjuk dan yang akan
dikuasai, dibagi habis dengan batasnya barisan lontar dan duri perang). ” Pale
nee zala pale, toke nee zala sede” (Berpencarlah ke wilayah pesisir dan
mendakilah ke daerah pegunungan/pedalaman). Yang berpencar dan menguasai
wilayah pesisir selanjutnya disebut ”Ata Ma'ü, dan yang masuk ke wilayah
pedalaman disebut ”Ata Duä”. Secara alamiah kondisi wilayah di Ngada ini
dipecah-pecahkan oleh deretan pegunungan bukit dan sungai yang disebut ”degho
wolo” dan ”baka leko”. Di antaranya masih terdapat gunung dan bukit yang
berdiri sesuai dengan keberadaannya sendiri-sendiri yang disebut ”Toko wolo”.
Di setiap Toko wolo terdapat dua hal pokok yang perlu diketahui, yakni :
Secara alami sejak awalnya
terdapat hutan yang ditumbuhi perbagai jenis tanaman kehutanan yang bermanfaat
bagi kehidupan/fungsi alami dan dapat dimanfaatkan hasilnya bagi kebutuhan
hidup warga. Wilayah ini disebut ”Fao Kaju”. Dimana komunitas masyarakat yang
berdiam di sekitarnya selalu identik dengan keberadaan hutannya (identitas
teritorial wilayah dan manusia).
Kawasan hutan yang dibudidayakan
dengan jenis tanaman tertentu seperti bambu, yang ditanam di sekitar wilayah
perkampungan atau di bukit/dataran dekat perkampungan yang disebut ”Fao Bheto”
(daerah pedalaman). Sedangkan di kawasan pesisir lebih dominan tanaman kelapa
yang disebut ”Fao Nio”
Di setiap Fao Kaju, Fao Bheto dan
Fao Nio terdapat beberapa buah kampung (Nua, Boä atau Ola) sebagai pendukung
kawasan lingkungan masing-masing dengan hukum adatnya sendiri-sendiri. Walaupun
nampaknya serupa tetapi tidak sama tergantung kesepakatan yang dibangun dalam
komunitas Fao masing-masing.
Selain fao kaju, fao bheto dan
fao nio memiliki hukum/adat yang sifatnya umum, ternyata di tingkat ”Nua” atau
kampung juga terdapat otonominya sendiri berdasarkan ”Ulu-eko Nua”. ”Nua”
mengatur dan mengurus kepentingan ”One Nua” (dalam kampung) dipimpin oleh
fungsionaris adat (Dela One Nua, Mosa One Nua, Mosa Ulu Laki Eko, Mosa Wuku Ulu
Laki Enga Eko, Mosa Udu Daki Eko). Mereka mengurus berbagai hal menyangkut
kepentingan bersama seluruh warga dalam kampung dan tidak boleh ada campur
tangan dari kampung lain. Mengatur, mengurus persoalan dalam komunitas seperti
: masalah tanah, adat istiadat, perkawinan, pertanian, pesta adat, peradilan
adat (mengurus perkara antar warga dalam kampung / bapho untuk menyelesaikan
pertiakaian).
Setiap Nua/Kampung terdapat
komunitas yang lebih kecil lagi yaitu ”Woe” atau Klan yang sering identik
dengan ”Suku” (sebuah interpretasi yang perlu dirumuskan kembali). ”Woe”
memiliki struktur kepengurusan tersendiri oleh mereka yang berkesatuan
kedarahan (genealogis) dan sangat otonom.
Pada tingkat ”Nua” sampai denga
”Toko Wolo” terdapat kepemimpinan dan pemimpin yang kolegial/kepemimpinan
bersama atau gotong royong (toö penga toö, rejo penga rejo) yang terdiri dari
para Mosa Woe, Pendiri Kampung (Mori Tere Lengi), para fungsionaris seperti
para mosa, Mori Kewe atau penguasa tanah ulayat, Mori Teke Wesu/ Mori Buku (pemangku
fungsi penanggalan/ bulan), Mori Padhe Bisa ( imam adat untuk berhubungan dengan
para dewa atau leluhur di alam baka). Mereka ini disebut ”Mosa Laki” karena
merupakan pemanut yang bijak dan berwibawa, berperan untuk menggerakan masa
bila ada tantangan yang menghadang, yang mengganggu keutuhan wilayah teritorial
mereka.
STRUKTUR GENEALOGIS (WOE)
a. Ngada
Dalam setiap kampung (Nua) di Ngada ini terdapat beberapa ”Woe” atau Klan yang memiliki struktur kepengurusan
sendiri oleh para pendukung ”Woe” yang berkesatuan kedarahan (genealogis).
Secara fisik di perkampungan tradisional orang Ngada dijumpai monumen yang
dibangun di tengah kampung berupa Ngadhu/ Madhu, Bhaga, Peo dan Ture. Ada
ungkapan ” Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Berapa jumlah Ngadhu dan
Bhaga dalam satu kampung dapatlah diketahui berapa jumlah ”Woe” dalam kampung
tersebut.
Woe memegang otonomi tertinggi
karena memiliki bidang tanah, hutan terutama tanaman bambu, kelapa, loka,
barang-barang mas dan yang paling utama dalam Woe terdapat ”Kesatuan Manusia”
dan memiliki pemimpin secara turun temurun. Woe mempunyai kewenangan dan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus semua kepentingan dalam kesatuan Woe.
Kepemimpinan atau pemimpin dalam Woe disebut ”Ana Koda”. Anakoda biasanya
berasal dari Saö Saka Puü dan Saö Meze Saka Lobo yang bila ada upacara Pogo
Ngadhu/ Madhu dan dibawa masuk dalam kampung maka oranga yang naik berdiri di atas
batang Ngadhu adalah Anakoda. Satu berdiri di depan yang disebut Saka Lobo dari
Saö Meze Saka Lobo dan satunya di belakang yang disebut Saka Puü dari Saö Meze
Saka Puü dan yang ada di bawah yang memiliki peran penting disebut ”Wua Ghao”
(Wua Nemo Ghaö Muë).
Monumen utama dalam Woe berupa
Ngadhu/ Madhu, Peo, Bhaga terdapat tiga unsur kekuatan pokok yang memiliki peran
penting dengan konsekuensi memperoleh hak dan kewajiban yaitu : Saka Puü, Saka
Lobo dan Wua Ghao yang menurut P. Hubert Muda, SVD, organisasi tiga serangkai
masyarakat asli ada kemiripan dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam
bidang administrasi modern. Berbeda dengan struktur wilayah teritorial ”Nua”
yang disebut ”Ulu Eko” yang diatur menurut dasar hukum adat ”Sui Uwi Reba”
dengan peraturan pelaksana adat yang dikenal dengan nama ”Waru Jawa” melalui
kesepakatan Mosa Ulu Ekonya, maka pada Woe lebih dikenal dengan istilah ”Puü"
dan ”Ngalu” (Pu'u dan Lobo) atau pokok/pangkal dan ujung. ”Woe” adalah kelahiran
Ngadhu dan Bhaga. Baik Saka Pu'u, Saka Lobo maupun Wua Ghao memiliki rumah adat
(Sao Meze) yaitu Sao Meze Saka Puu, Sao Meze Saka Lobo dan Sao Meze Wua Ghao.
Semua Sao Meze memiliki Suä
(lambang hak dan kewajiban). Dalam perkembangannya terutama karena anggota
semakin bertambah dan sudah mencapai tingkat kemampuan tertentu, maka akan
melahirkan ”Sao Dhoro” atau rumah pemekaran baru dan diberi/dibagi Suä (hak dan
kewajiban) dengan bidang tanah atau kekayaan tertentu. Bila Sao Dhoropun dalam
perkembangannya mengalami kemajuan dan pertumbuhan manusia yang semakin banyak,
maka akan melahirkan Saö Tede. Saö Tede tidak memiliki Suä sendiri. Sao Tede
merupakan bagian yang terpisahkan dari Sao Dhoro, tetapi merupakan bagian dari
Sao Meze dari mana mereka berasal dan mengacu pada peka puu atau peka lobo atau
wua ghao sesuai struktur masing-masing dan tergabung dalam satu Woe pemegang
hak tertinggi. Woe memiliki bidang tanah (tanah Ngadhu-Bhaga atau tanah milik
bersama Woe/Klan) yang dibagi sama rata dengan batas-batas tertentu menurut
”Lanu”. Setiap Lanu dibagi lagi lahan untuk digarap bagi kelangsungan hidup
anggotanya yaitu Padhi Hae/Padhi Sae Duri Tewu. Bagi orang Ngada pendukung
budaya Reba, memiliki hukum pertanahan yang disebut ”Sa Lapa Sa Lazi Nee Padhi
Maghi, Sa Teda Sa Ngeda Nee Peda Mera” ( semua tanah telah dibagi habis dengan
batas tertentu yang diibaratkan dengan barisan pohon lontar dan duri perang).
Pembagian tanah secara adil dan merata bertujuan untuk diolah secara baik bagi
peningkatan taraf hidup semua orang (Wi Polu Bhogu Jou, Paga Bhangu Asa).
Dari uraian singkat di atas baik
mengenai strukur wilayah/teritorial maupun geanologis (Woe/Klan) yang ditemukan
dalam budaya Ngada (pendukung Budaya Reba) memiliki struktur kepemerintahan
budaya yang berbentuk republik desa, berdemokrasi murni dan sangat otonom.
b. Nage
Demikian halnya, Komunitas
Masyarakat Adat Nagekeo. Menurut Bapak Eperadus Dhoy Lewa, komunitas masyarakat
adat Nage tidak banyak berbeda dengan budaya Ngada. Setiap kampung
(Nua/ Ola/ Boa) selalu memiliki ”Peo-Ngusu-Nabe” yang merupakan simbol persatuan
dalam persekutuan adat. Ada ungkapan : ” Koko Neë dolo to, Lanu neë tadu asu”
(memiliki pembagian hak dan kewajiban yang jelas). Ada Sao Waja, Peo, Ngadhu.
Struktur masyarakat di Nage mewajibkan setiap Klan memiliki ”Hoö”. ”Hoö” adalah
orang kebanyakan yang dari awalnya tidak memiliki tempat berusaha dan mereka
dimanfaatkan untuk membantu tuannya melaksanakan tugas harian memelihara dan
menggembalan ternak, berkerja di sawah dan di ladang, dan membantu urusan dalam
rumah tangga. Kemosalakian orang di Nage adalah mereka yang dianggap
berkemampuan lebih. Mereka sangat menjunjung tinggi martabat karena setiap
orang harus menunjukkan kemampuan memiliki harta benda, tanah garapan yang luas
dan ternak yang banyak. Dengan demikian status sosialnya terangkat dan diakui.
Ada ungkapan yang merupakan prinsip yang wajib dijalankan adalah : ”Bani puü
ngiï da Ngai” yang secara harafiah dapat diartikan : ” Berani tampil karena
bisa”. Masyarakat Nage memiliki fungsionaris adat seperti :
·
Mosa Ulu Laki Eko (Pemimpin Wilayah)
·
Mosa Watu Laki Tana (Pemilik Tanah)
·
Mosa Bhada Laki Wea (Mosa yang memiliki ternak
yang banyak dan harta (orang berada)
·
Mosa Wiwi Laki Lema ( Orang yang pandai
berbicara yang sering dipercayakan sebagai juru damai)
·
Mosa Boä Laki Ola (Pemuka dalam kampung).
Mereka memiliki semboyan hidup :
·
Kamu kana nama mala (harus memiliki kekerabatan
yang luas).
Contoh ungkapan/pernyataan salah
satu suku yang ada di Nage, sebagai berikut :
” Ta so nama wolo dhu zele lodo,
Kamu lana nama mala badha zele djdja. Kami Ebu Oba Kajo Nanga, Kami dho dho puü
zele wolo, Gheghe se tege, puü lobo leke zele, Kesu sa loge, Kami dhodho puü
pore lena zeta”.
Peo Ngusu Nabe di Komunitas Nage
memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan Komunitas Ngada karena ada
Saka puü-Saka Lobo-Ada Iwu – Lado Bepi dan tugu-tugu.
c. Keo
Di Wilayah Keo (Keo Tengah dan
Mauponggo) dari keterangan Bapak Arnold Dhae dan Bapak Anton Towa dari
Mauponggo (yang kemudian juga disampaikan oleh Bapak Pit Yan Jo dan Bapak
Salesius Wundu dari Keo Tengah) ; di masa lampau komunitas masyarakat adat Maü,
sangat menentukkan masalah mati hidupnya sendiri. Otonomi atau hak mengatur dan
mengurus rumah tangga komunitas sebagai wilayah hukum diatur melalui hukum
adat. Kewenangan dan kewajiban tidak hanya menyangkut kepentingan duniawi
tetapi juga menyangkut kepentingan rohani. Tidak hanya berkenaan dengan kepentingan
umum/komunitas (pemerintah/negara) tetapi juga kepentingan penduduk
perseorangan. Isi otonomi menurut hukum asli sebetulnya sangat luas dan
memiliki unsur-unsur asli yang bermutu tinggi walau dalam bentuk yang sangat
sederhana. Namun sejak jaman Belanda bahkan sampai saat ini terjadi
pembatasan-pembatasan dalam otonomi dan terjadi pelanggaran-pelanggaran
terhadap hukumnya.
Setiap kampung tradisional
mempunyai sitem pemerintahan sendiri berdasarkan ”Peo Yenda” (monumen/lambang
persatuan dan kesatuan dalam kampung). Setiap ”Peo Yenda” terdapat pemangku
adat yang disebut ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo”. Segala urusan dalam kampung harus
mendengar perintah dari pemamngku ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo” Peo Yenda. Baik
Saka Puu maupun Saka Lobo masing-masing mempunyai ”Tuku” yang berfungsi sebagai
penopang/pendukung. Saka Puu, Saka Lobo dan Tuku memiliki beberapa ”Ana Tuku”
dan dari ”Ana Tuku” terbagi lagi menjadi beberapa ”Woe” atau suku. Pemangku
adat ”Ana Tuku” berfungsi seperti para menteri dalam kabinet yang bertugas
membentengi/menopang struktur yang ada di atasnya. Setiap suku/Woe turun ke
beberapa ”Ngapi” (bagi lika wunu). Misalnya pada saat pesta adat ”Pebha” atau
”Para” atau ”Pa” mereka memperoleh bagian yang sama namun tidak boleh
mendahului struktur yang sudah ditetapkan di atasnya. Bila dalam perkembangan,
jumlah manusia semakin banyak maka pengaturan kepemilikan tanah dibagi menurut
suku dengan jalur yang telah digariskan. Pada masa lalu aturan seperti ini
sangat ditaati sehingga sangat jarang terjadi perselisihan.
Bila terjadi perselisihan atau
persoalan maka ada mosa yang terbatas dalam keluarga atau suku mencari solusi
pemecahaan (podo coö). Ada fungsionaris adat yang disebut ”Mosa Mere Laki Lewa”
nya masing-masing. Semua persoalan dalam kelurga cukup diselesaikan dalam rumah
”Pata soö, poto reta tolo” (jangan di bawa ke luar). Kalau menemui jalan buntu,
masih ada forum yang disebut ”Teë mere, wewa lewa”. Masyarakat selalu mengacu
pada struktur dalam rumah adat (Saö) yang disebut ” Neë ta reta tolo” (ada yang
di bagian dalam rumah yang memiliki status sebagai pemimpin,
pengatur/pengurus). ”Neë ta rade tenda” (ada yang yang di ruang tengah), ”Neë
ta rade tana” (ada yang di luar teda/moä). Mereka ini yang menjalankan semua
perintah dan sebagai pelancar semua urusan sidang. Bila ada pertemuan dalam
rumah, mereka ada di bagian depan rumah ”mera ana tenda neë rade tana” (para
pelancar urusan).
Fungsionaris
adat yang ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi di dalam komunitas kampung atau
semacam kepala kampung disebut : ”Mosa Wuku Ulu, Laki Enga Eko” dan harus
berasal dari keturunan ”Saka Puü” atau ”Saka Lobo” dan minimal dari pemangku
”Tuku”. Jika yang pertama berhalangan masih ada orang kedua dan jika keduapun
berhalangan masih ada orang ketiga dan seterusnya. Dengan demikian dari Puü ke
Lobo, Lobo ke Tuku baru turun ke Ngapi.(disadur ulang dari tulisan Bapak Daud Lado Bara)
Komentar
Posting Komentar