RITUAL ADAT ETNIS NGADA DI PULAU FLORES



PRAKATA
Kabupaten Ngada yang terletak di Pulau Flores merupakan bagian integral dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini dihuni oleh dua etnis yang memiliki latar belakang sosial, budaya, adat istiadat, kebiasaan dan bahasa yang sangat berlainan satu sama lainnya. Dua etnis yang ada di Kabupaten Ngada adalah etnis Ngada dan Riung

PANDANGAN TENTANG MANUSIA, ALAM DAN TUHAN

Masyarakat dalam etnis Ngada ini memandang dunia sebagai ’Ota Ola’, yaitu tempat manusia hidup bersama yang dilukiskan dengan bahasa adatnya:

Lobo papa tozo, tara papa dhaga”
( Saling adanya ketergantungan)

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat meyakini akan adanya kekuatan baik yang disebut Dewa Zeta; dan ada kekuatan jahat yang disebut Nitu Zale. Dewa Zeta sebagai kekuatan sumber kemurahan, sumber kebaikan (Mori Ga’e). Sedangkan Nitu Zale dipandang sebagai kegelapan dan sumber kejahatan.
Sejumlah upacara adat yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia  hingga saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakat dalam etnis Ngada dari mulai kelahiran sampai kematian.


UPACARA ADAT KELAHIRAN

Masyarakat Ngada meyakini tujuan perkawinan adalah untuk melahirkan anak-anak. Hal ini termuat dalam ungkapan  bahasa adat (Pata Dela), yaitu :

“Bo moe tewu taba, loka moe muku wuka
(Bertunas bagaikan tanaman tebu, menghasilkan buah bagaikan tanaman pisang)

Peristiwa kelahiran dalam pandangan masyarakat Ngada harus diawali dengan perkawinan adat yang melegalkan senggama antara pria dan wanita, dalam bahasa adat disebut:

“Beke sese papa pe, pa’a bhara papa dhaga
(Dada saling berhimpitan, paha saling bertindisan)

Legalisasi ini bertujuan untuk melanjutkan keturunan secara sah dan resmi. Keturunan sangatlah penting guna meneruskan nama famili dan penguasaan harta warisan leluhur secara turun-temurun.
Setiap perempuan yang hamil (ne’e weki) harus memiliki suami atau ada laki-laki yang menghamili. Dalam bahasa adat dilukiskan dengan ungkapan :

“Wae benu toke, uta benu bere, ne’e go mori”
(Air penuh bambu sayur penuh keranjang pasti ada yang memasukkan)

atau

Sa a, keka ea, nee go mori
(Burung gagak bersuara, burung kakatua berkicau, pasti ada penyebabnya).
Kelahiran anak, entah laki-laki atau perempuan, bagi masyarakat  etnis Ngada adalah berkah dari leluhur. Karena itu, kelahiran anak selalu disyukuri dengan upacara adat yang melalui berbagai tahapan ritus, antara lain :
·         Geka Naja, merupakan upacara adat  yang dilakukan sesaat setelah anak lahir yang ditandai dengan pemotongan tali pusar (poro puse) dan pemberian nama (tame ngaza) kepada si bayi. Untuk pemberian nama, biasanya semua daftar nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut. Ketika sebuah nama disebut dan disusul dengan bersinan bayi, maka nama tersebut akan menjadi namanya karena bersin bagi orang Bajawa berarti tanda kesepakatan dari bayi. Pemberian nama melalui cara ini penting dilakukan. Jika tidak, maka anak tersebut tidak akan bertumbuh dengan normal dan sehat. Di sini, kecocokan antara nama dan si bayi amat menentukan masa depannya.
·         Tere Azi, masyarakat Ngada memandang ari-ari sebagai kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik. Ari-ari tidak dikuburkan tetapi diletakkan pada suatu tempat yang tinggi (di atas pohon). Awalnya diletakkan di dasar rumah pokok.
·         Lawi Azi, Lawi Ana atau Ta’u, merupakan ritual adat yang bertujuan untuk mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya dalam tahapan ini, rambut si anak dicukur disebut Koi Ulu.


UPACARA ADAT PRADEWASA (REMAJA)

Sejumlah ritual adat dilakukan oleh masyarakat Ngada untuk proses pendewasaan anak laki-laki dan perempuan yakni:
·         Lege Mote (konde rambut). Khusus untuk anak perempuan rambut tidak boleh dicukur lagi dan dibiarkan panjang supaya bisa dikonde.
·         Peti Kodo dan Sipo Sapu (memberi pakaian). Peti kodo artinya memberi pakaian kepada anak perempuan sedangkan sipo sapu memberi pakaian pada anak laki-laki. Mereka yang beranjak remaja tidak boleh telanjang lagi.
·         Kiki Ngi’i (potong gigi), bertujuan untuk mendewasakan seorang gadis sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut.
Bagi masyarakat Ngada, seorang wanita dinyatakan mulai dewasa apabila ia sudah mengalami datang bulan (ngodho wula).


UPACARA ADAT DEWASA
Bagi masyarakat Ngada, kedewasaan ditandai dengan perkawinan. Untuk sampai pada jenjang perkawinan, ada beberapa tahap yang dilewati, yaitu :
·         Beti tei tewe da moni neni, merupakan tahap perkenalan antara pria dan wanita biasanya pada saat pesta adat Reba (pesta syukur panen tahunan).
·         Beku mebhu tana tigi, merupakan tahap di mana pihak laki-laki mengadaptasi diri dengan gadis dan keluarga gadis, tetapi tetap tidur terpisah. Sang pria tidur bersama saudara laki-laki dan ayah dari calon istrinya. Sehari-hari ia harus terlibat penuh dalam aktivitas kehidupan sehari-hari seluruh keluarga besar calon istrinya. Di sinilah, sang pria diberi kesempatan untuk mengenal lebih dekat keluarga gadis pujaannya sekaligus akan dinilai oleh seluruh anggota keluarga besar gadis pujaannya. Jika pria merasa Oke dengan pilihannya, ia dapat memutuskan untuk mengajak keluarganya meminang sang gadis. Jika tidak cocok, dia berhak menolak atau ditolak oleh pihak keluarga wanita.
·         Bere tere oka pale, merupakan tahap di mana keluarga pihak laki-laki datang meminang anak gadis. Sang gadis diminta secara baik-baik oleh pihak keluarga pria. Pada kesempatan inilah kedua belah pihak dapat mendapatkan kepastian mengenai kelanjutan hubungan mereka. Tahapan ini disebut juga Rejo kaju.
·         Idi Nio Manu, merupakan tahap di mana keluarga pihak laki-laki beriringan menuju rumah calon besan membawa sejumlah barang sebagai prasyarat untuk pertunanganan adat.
·         Zeza/ Sui tutu maki Rene. Zeza merupakan tahapan puncak dalam mengesahkan pasangan wanita dan laki-laki untuk hidup berdampingan sebagai suami dan istri. Dalam bahasa adat disebut
Lani seli’e, te’e setoko”
(Tidur beralaskan satu tikar dan satu bantal)

Pada kesempatan ini kedua mempelai, secara adat sudah resmi dan sah menjadi suami dan istri. Akan tetapi, mereka belum diperbolehkan tidur  bersama dan melakukan hubungan layaknya suami dan istri. Hal ini dikarenakan secara agama Katolik, perkawinan mereka belum sah. Karena itu, setelah tahap ini biasanya dilanjutkan dengan kursus persiapan perkawinan (KPP) sebagai syarat untuk melangsungkan pernikahan secara Katolik. Apabila tahap ini sudah dilewati, maka kedua mempelai akan mengikrarkan janji setia di hadapan Allah di gereja. Dengan demikian, apa yang telah diikat oleh adat, semakin diperkuat lagi melalui ikatan tak terceraikan oleh agama. Setelah pernikahan agama dilangsungkan barulah kedua mempelai menjadi suami dan istri yang sah dan diperkenankan untuk tidur bersama.




UPACARA ADAT KEMATIAN

Masyarakat Ngada memandang kematian sebagai  Dewa da Enga atau Nitu da Niu”. Dewa adalah kekuatan di atas yang baik (Dewa Zeta) yang memberi kehidupan dan kematian. Nitu adalah kekuatan di bawah yang jahat (Nitu zale) yang bisa mencabut nyawa manusia secara paksa. Karena itu di kalangan masyarakat Ngada ada dua jenis kematian, yaitu :
  • Mata Ade, merupakan kematian yang wajar karena penyakit medis. Upacara penguburan melalui beberapa tahap yaitu
Roko (memandikan dan memberi pakaian),
Basa Peti (membuat peti mati),
koe gemo (menggali kubur),
gai boko(melepaspergikan jenasah),
pa’i (menghibur keluarga selama tiga malam)
Ngeku (kenduri) yang ditandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa babi, kuda atau kerbau.
  • Mata Golo, merupakan kematian yang tidak wajar akibat kecelakaan, bunuh diri atau dibunuh. Biasanya jenasah mereka tidak diperkenankan dibawa masuk ke dalam rumah. Upacara penguburan melalui beberapa proses sebagai berikut:
Pai api (menjaga mayat halaman rumah),
tau tibo (upacara mencari penyebab kematian),
keo rado (upacara pembersihan),
tane (menguburkan mayat) dan
e lau kora (membuang seluruh peralatan yang dipakai ke arah matahari terbenam).
Upacara ini biasanya terkesan menyeramkan, karena diyakini bahwa orang yang kematiannya tidak wajar, pasti di masa lalu dari leluhurnya pernah mengalami hal yang serupa atau melakukan tindakan yang merupakan aib yang tertutup. Karena itu, harus dicari sumber penyebabnya dengan acara pa’i tibo dan disembuhkan akar masalahnya melalui upacara rekonsiliasi dengan masa lalu. Jika upacara ini tidak dilakukan maka musibah yang sama akan terus menghantui anak cucu sampai tujuh turunan berikutnya.



 Gambar Penyembelihan Kerbau




UPACARA ADAT LAINNYA

Upacara Pemulihan/ Bersih Diri

Masyarakat Ngada mengenal sejumlah upacara pembersihan diri atau pemulihan diri antara lain:
·         Upacara Woko Liko Kada, merupakan upacara pemulihan bagi seorang yang telah membunuh sesamanya dan telah menjalankan hukuman penjara. Ia dinasehati agar
“Sau ma’e Ngada Bhuja ma’e laji”
(Parang dan tombak jangan lagi memakan korban)
Dalam upacara ini biasa dilakukan penyembelihan hewan kurban berupa kerbau dan babi untuk rekonsiliasi dengan semua pihak termasuk dengan alam. Karena diyakini bahwa tindakan membunuh sesama juga merusak keharmonisan dengan alam semesta.
·         Upacara Rubu Rao, merupakan upacara pemulihan nama baik seseorang yang telah dicemari oleh seseorang. Pelaku dinasehati dengan ungkapan adat
“Toke ma’e deke mote ma’e weo”
(Jangan mencemari nama orang lain)
Rekonsiliasi dengan sesama oleh karena lidah manusia yang setajam belati.
·         Upacara Dhoro Ga’e/ Nuka Nua, merupakan upacara pemulihan seorang perempuan (rang Ga’e) yang kawin dengan laki-laki rang bawah (bukan ga’e). Umumnya mereka diusir dari kampung dan setelah beberapa tahun mereka kembali ke kampung dengan upacara ’Nuka nua’ (masuk kampung).
·         Upacara Sebhe Bhaku dan Basa Nata Rogho , merupakan upacara pemulihan bagi laki-laki dan perempuan yang berzinah namun keduanya tidak bersedia untuk hidup bersama sebagai suami istri . Untuk jenis kesalahan ini, pihak laki-laki dikenakan sanksi adat berupa kerbau atau kuda sesuai dengan peraturan adat yang berlaku dan harus meminta maaf kepada seluruh penghuni kampung atas kekhilafan yang telah mereka lakukan.
·         Upacara Kati, merupakan upacara pemulihan bagi seorang pria yang berzinah dengan istri orang (pela). Pihak laki-laki selalu pada posisi ’salah’ meskipun mungkin kenyataannya ia digoda oleh perempuan. Pihak laki-laki wajib membawa sejumlah barang (kati) ke rumah suami dari istri yang dizinahi. Suami dari istri yang berzinah jika menerima kati, wajib  memulihkan kembali perkawinan mereka dengan tetap saling memaafkan.
(Kati: inde loda/ukuran)
·         Upacara Sewu Ngewu, merupakan upacara pemulihan dalam bencana kebakaran kampung. Upacara ini melalui beberapa tahap yakni
Zoze Api (memutuskan hubungan dengan kutukan api),
Kago Te’e Bola (memasukan barang-barang ke dalam rumah),
Pa’i Tibo Taki Api (mencari petunjuk ritual tradisional untuk mengetahui sebab-sebab kebakaran),
Sewu Ngewu (menyembelih kerbau) sebagai hewan kurban.

Upacara Bercocok Tanam

Masyarakat Ngada memandang bertani dan beternak sebagai suatu keharusan dan sumber kehidupan yang pertama dan utama. Ini terungkap dalam bahasa adat:
“Bugu kungu, uri logo”
(Kuku tumpul dan punggung terbelah: makan dari hasil kerja keras mengolah tanah)
“Tuza mula, wesi peni”
(harus menanam dan beternak)
Ucapan syukur atas hasil panen dilakukan dengan pesta adat yang disebut Reba dan rasa gembira dinyatakan dengan tarian ’O Uwi’ (memuja ubi, makanan nenek moyang suku Ngada). Tarian tandak bersama sambil menyanyi membentuk sebuah lingkaran.

Upacara Membangun dan Masuk Rumah Adat

Bagi masyarakat Bajawa, rumah adat adalah lambang kekuatan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilambangkan dengan ’Lasu Wisu’ dan perempuan dilambangkan dengan ’Lia loki’. Pertemuan antara lasu wisu dan lia loki membuat rumah adat menjadi kuat.

Ada tiga jenis rumah adat (Sa’o Meze) yakni Sa’o Saka Pu’u (rumah pokok), Sa’o saka lobo (rumah pendamping rumah pokok) dan sejumlah Sa’o Pibe/Dai (rumah adat lainnya dari para anggota suku/klan).

Proses membuat rumah adat yang harus dilalui adalah:
·         Zepa Kolo, yaitu mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bambu.
·         Ka Kolo/Basa Mata Taka, merupakan upacara  yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat.
·         Gebhe Pu’u Kaju, merupakan upacara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk material rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
·         Bama Ngaru Kaju, yaitu bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangunn.
·         Weti, merupakan proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha.
·         Tore ngawu, yaitu membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung.
·         Tere Leke/Tere Pudha, merupakan acara Zia Ura Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua material sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
·         Mula Leke , merupakan pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebu dengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba.
·         Se’a Tenga , merupakan pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
·         Dolu/ fedhi wae/ dolu wae , merupakan proses untuk menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mereciki air pada pertengahan Tenga. Bila jatuhnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisi leke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
·         Soka Leke, pada dasarnya merupakan sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik Sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun Sa’o mereka.
·         Remi Ube/Kobo Ube, merupakan pemasangan ube sa’o secara keseluruhan selain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan, sehingga sebagai mama atau induk harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
·         Wa’e Sa’o, merupakan proses memberi atap rumah adat. Atap rumah adat tradisional biasanya dari ilalang.
·         Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere, merupakan proses lanjut yangg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan simbol-simbol penting yang merupakan lambang dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
Ka Sa’o, merupakan acara puncak sebagai pentahbisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat sesuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian Jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi. Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe (anggota suku/klan), Wai Laki (kelurga besar karena hubungan perkawinan), Lobo Tozo tara dhaga (kerabat jauh dan hubungan perkawinan).

 Gambar Ngadhu

Gambar Bhaga



PENUTUP

Berbagai ritual adat yang dilakukan oleh telah mempengaruhi cara hidup masyarakat Ngada. Semua ritual adat tersebut di atas telah menjiwai semua tingkah laku orang Ngada dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.  Pandangan orang Ngada memberikan pemahaman bahwa ada kekuatan lain (yang mutlak) yang menguasai semesta baik di tingkat atas maupun bawah melahirkan sejumlah upacara  adat yang pada intinya “memohon” keselamatan, restu, dan ucapan syukur atas apa yang telah dialami oleh setiap orang Ngada dalam hidup pribadinya, di dalam keluarga, di dalam suku maupun di dalam kampung.  Nilai luhur budaya yang tersirat  dari ritual adat ini adalah untuk menjaga harmoni relasi dengan sesama manusia, alam semesta dan Tuhan.

(Sumber: Kompasiana.com, dengan banyak  perubahan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEKALOG FILSAFAT HIDUP ORANG NGADA