SEJARAH KOTA BAJAWA
A.
|
NAMA BAJAWA
|
Bapak H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat
yang kini berusia 88 tahun menuturkan bahwa nama Bajawa sebenarnya berasal
dari “ Bhajawa ” yaitu nama satu dari antara tujuh kampung di sisi barat Kota
Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “ Nua Limazua ” tersebut adalah Bhajawa,
Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge. Nua Limazua tersebut
merupakan suatu persekutuan “ ulu eko ” yang dikenal dengan “ Ulu Atagae, Eko
Tiwunitu ”.
Nua Bhajawa adalah kampung terbesar dari antara
tujuh kampung tersebut dan merupakan tempat tinggal Djawatay sebagai Zelfbertuurder atau Raja Pertama dan
Peamole sebagai Raja yang Kedua. Mungkin karena itulah nama Bhajawa lebih
dikenal dari yang lainnya dan digunakan oleh Belanda sebagai nama pusat
pemerintahan Onder Afdelling Ngada.
Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa karena penyesuaian pengucapan
terutama bagi orang Belanda ketika itu yang tidak bisa berbahasa daerah
dengan benar.
Dari aspek etimologi, kata “ Bhajawa ” terdiri
dari “ bha ” yang berarti piring dan “ jawa ” yang berarti perdamaian. Jawa
bisa berarti tanah Jawa. Sehingga “ Bhajawa ” bisa berarti piring perdamaian,
bisa juga berarti piring dari Jawa, sama seperti “ Pigasina ” yang berarti
pinggan dari Cina.
Dataran di sebelah timur dari tujuh kampung
tersebut, yang kemudian menjadi pusat kota Bajawa, pada mulanya masih
merupakan kebun ladang dengan banyak nama seperti “ Mala ”, “ Ngoraruma ”, “
Surizia ”, “ Umamoni ”, “ Padhawoli ”, “ Ngedukelu ”, dan lain-lain. Kawasan
gereja dan pastoran Paroki MBC bernama Surizia, kawasan rumah jabatan Bupati,
Mapolres dan Kantor Daerah lama bernama Ngoraruma, kawasan tangsi Polisi
dengan nama lain lagi, dan seterusnya.
|
|
B.
|
AWAL BERDIRINYA KOTA BAJAWA SAMPAI KEMERDEKAAN
INDONESIA ( 1908-1945 )
|
Tidak mudah menentukan tanggal, bulan dan tahun
lahirnya Kota Bajawa, karena sulit mendapatkan rujukan tertulis. Walaupun
demikian, penuturan Bapak H. Nainawa dan beberapa sumber lain dapat sedikit
menyingkap kisah awal Kota Bajawa.
Kota Bajawa dirintis oleh penjajah Belanda. Pada
tahun 1907 di bawah pimpinan Kapiten Christoffel, setelah menguasai Larantuka
dan Sikka, Belanda mengadakan aksi militer untuk menguasai wilayah Ende,
Ngada dan Manggarai. Pada 10 Agustus 1907, pasukan Christoffel tiba di Ende
dan hanya dalam waktu sekitar 2 minggu berhasil mengalahkan Rapo Oja dari
Woloare dan Marilonga dari Watunggere serta menguasai wilayah Ende. Pada 27
Agustus 1907, pasukan Christoffel mulai melakukan agresi militer ke wilayah
Ngada. Sesudah pertempuran di Rowa, Sara, Mangulewa dan Rakalaba, pada 12
September 1907 Bajawa menyerah. Di Bajawa pasukan Belanda menempati lokasi di
pinggir kali Waewoki (sekitar rumah potong hewan sekarang) karena dekat mata
air Waemude sebagai sumber air minum. Dalam waktu 3 bulan pasukan Christoffel
berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan selanjutnya pada 10 Desember
1907 seluruh wilayah Manggarai dikuasainya. Setelah pemberontakan Marilonga
dapat dipadamkan pada tahun 1909 maka pada tahun 1910 seluruh wilayah Flores
takluk kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Belanda mulai mengatur pemerintahan yang pada
mulanya bersifat militer di bawah pejabat militer yang disebut “ Gezaghebber ”, kemudian bersifat sipil
di bawah pejabat sipil yang disebut “ Controleur
”. Kapiten Spruijt yang menggantikan Christoffel diangkat sebagai Gezaghebber Ende, van Suchtelen
menjadi Gezaghebber Lio, dan Couvreur menjadi Gezaghebber mulai dari wilayah
Nangapanda, Ngada, sampai Manggarai.
Agar kegiatan pemerintahan penjajah lebih tertib,
keamanan lebih terkontrol dan pemungutan pajak serta kerja rodi yang
sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat Ngada, dapat terlaksana dengan baik,
Belanda membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem
tradisional. Sebelumnya, masyarakat Ngada hidup berkelompok dalam “ ulu eko
”, “ nua ” dan “ woe ” yang bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih
tinggi di atasnya. Demi efektivitas penjajahan, dibentuklah struktur baru di
atasnya yaitu “ Zelfbesturende Landschap ” atau “Landschap Bestuur” yang
dipimpin oleh seorang “ Zelfbestuurder ” atau raja yang diangkat oleh Belanda
dari antara pemuka masyarakat setempat yang paling berpengaruh.
Pada tahun 1912, di seluruh Flores terdapat 27
Landschap Bestuur dan di wilayah Ngada terdapat 6 Landschap Bestuur yaitu
Landschap Bestuur Ngada di bawah Djawatay, Nage di bawah Roga Ngole, Keo di
bawah Moewa Tunga, Riung di bawah Petor Sila alias Poewa Mimak, Tadho di
bawah Nagoti, dan Toring di bawah Djogo.
Pada 1 April 1915, menurut Indisch Staatsblad
Nomor 743, Afdeling Flores dibentuk dipimpin seorang Asistant Residen
berkedudukan di Ende, membawahi 7 Onder Afdeling, termasuk Onder Afdeling
Ngada. Onder Afdeling Ngada dengan ibukotanya Bajawa terdiri dari 4 Landschap
Bestuur yaitu Ngada dipimpin Djawatay, Nage dipimpin Roga Ngole, Keo dipimpin
Moewa Tunga dan Riung dipimpin Petor Sila. Sedangkan Tadho dan Toring yang
sebelumnya berdiri sendiri, bergabung dengan Riung. Karena pada tahun
1916-1917 terjadi perang Watuapi dipimpin Nipado, maka pengangkatan menjadi
Bestuurder ( raja ) melalui penandatanganan Korte Verklaring ( perjanjian
pendek ) sebagai pernyataan takluk kepada kerajaan Belanda baru dapat
dilakukan pada 28 November 1917. Sebelum penandatanganan Korte Verklaring
tersebut, Bestuurder (raja) diangkat dengan Keputusan Pemerintah ( Government
Besluit ).
Pada tahun 1931/1932 struktur pemerintahan
penjajahan Belanda di wilayah Ngada adalah Onder Afdeling Ngada berpusat di
Bajawa dipimpin oleh Controleur (seorang Belanda), mencakupi 3 Landschap
Bestuur yaitu Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo di Boawae dan Riung di
Riung. Landschap Bestuur Keo dan sebagian komunitas masyarakat adat Toto
bergabung dengan Nage, menjadi Landschap Bestuur Nagekeo berpusat di Boawae.
Pada tahun 1938 struktur pemerintahan penjajahan
Belanda di Flores dan di wilayah Ngada mengalami penyempurnaan disesuaikan
dengan Inlandsche Gemmente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ) yang dimuat
dalam Ind. Stb. 1938 Nomor 490 jo Ind. Stb. 1938 Nomor 681. Struktur baru
tersebut adalah Onder Afdeling Ngada dipimpin oleh Controleur ( orang Belanda
) mencakup 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung masing-masing
dipimpin raja. Di bawah Landschap Bestuur adalah Gemmente / Haminte dipimpin
oleh Kepala Haminte / Kepala Mere atau Gemmente Hoofd yang membawahi
kampung-kampung yang dipimpin oleh kepala kampung.
Sebenarnya pada mulanya Belanda memilih Aimere
sebagai ibukota Onder Afdelling Ngada karena mudah dijangkau melalui laut,
sedangkan Bajawa dengan udaranya yang sejuk dan ketinggian 1.100 meter dari
permukaan laut disiapkan dan memang sangat cocok untuk tempat peristirahatan.
Di Bajawa dibangun 3 buah pesanggrahan ( penginapan ) yaitu pada bekas Kantor
Kecamatan Ngadabawa, Mapolres Ngada dan Kantor Banwas Ngada sekarang. Tanah
tempat bangunan pesanggrahan tersebut ditunjuk oleh Djawatay yang ketika itu
diangkat menjadi Bestuurder Landschap Ngada. Bajawa kemudian ditetapkan
sebagai ibukota Onder Afdeling Ngada mungkin dengan pertimbangan bahwa Bajawa
lebih di tengah untuk bisa menjangkau wilayah Riung dan Nagekeo, sedangkan
Aimere terlalu di pinggir barat. Ketika terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1
April 1915 dan Bajawa ditetapkan sebagai ibukotanya, maka pesanggrahan pada
bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa dijadikan kantor, pada Mapolres Ngada
sekarang menjadi tempat tinggal Gezaaghebber / Controleur dan pada Kantor
Banwas sekarang tetap menjadi pesanggrahan. Kantor Controleur kemudian
dibangun dari kayu pada sisi timur pesanggrahan ( pada lokasi Kantor Dinas
Pendapatan sekarang ). Sangat disesalkan bangunan bersejarah tersebut, yang
kemudian juga digunakan sebagai gedung DPRD Kabupaten Ngada telah diruntuhkan
dan kini berganti dengan bangunan Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Ngada. Sedangkan Kantor Bestuurder ( raja ) dibangun di Kampung Bajawa.
Ketika Belanda mulai menjajah wilayah Ngada
secara fisik, mereka menemukan kehidupan masyarakat masih sangat sederhana
bahkan primitif serta sering bergolak karena terjadinya pertikaian antara
suku. Untuk itu, Belanda berupaya mendirikan sekolah rakyat, selain untuk
menjalankan “ politik etis “ pemerintah Belanda, juga agar masyarakat dapat
baca-tulis, tidak primitif, dan juga memperhalus budi dan perilaku sehingga
mengurangi pertikaian antar suku serta mengurangi pola pikir yang tidak
rasional ( takhiul atau percaya sia-sia ).
Pada tahun 1908 Gezaaghebber Couvreur menyurati
Misionaris Jesuit di Larantuka untuk mengirimkan guru ke Flores bagian barat,
termasuk ke Bajawa, namun belum dikabulkan. Pada tahun 1911 Gezaaghebber
Koremans dan Controleur Hens menyurati lagi Misionaris Jesuit di Larantuka
dengan maksud yang sama. Pada tahun 1912 Misionaris Jesuit di Larantuka
melalui Panitia Persekolahan Flores ( School Vereniging Flores ) yang baru
dibentuk, mengirimkan seorang guru bernama Johanes Patipeilohy dan pada tahun
yang sama membuka sekolah rakyat yang pertama untuk Onder Afdeling Ngada
dengan nama Sekolah Rakyat Katolik Bajawa. Sekolah pertama ini menggunakan
gedung yang sekarang ini menjadi Kantor PWRI di Jalan Gajah Mada. Pada tahun
1915 datang lagi dari Larantuka seorang guru bernama Markus Fernandez.
Kedua guru tersebut sekaligus menjadi Misionaris
Awam Katolik pertama untuk Bajawa. Tercatat pada 19 Oktober 1915, Mgr. Petrus
Noyen, SVD, dalam kunjungan pertamanya ke Bajawa, mempermandikan 28 orang
anak sekolah menjadi orang Katolik pertama di Bajawa hasil didikan kedua guru
tersebut. Mgr. Petrus Noyen, SVD menginap di pesanggrahan / tempat kediaman
Controleur. Pada 28 April 1920, Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater J. de
Lange, SVD dan Pater J. Ettel, SVD kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere
dengan kapal KPM. Pada hari Minggu 9 Mei 1920 sebelum Pentekosta ada perayaan
Komuni Pertama dan Krisma yang didahului dengan permandian 30 anak. Pater Ettel
mencatat peristiwa itu sebagai berikut : “ Dari dekat dan jauh semua anak
sekolah berdatangan bersama guru-guru mereka. Bajawa penuh dengan kuda.
Upacara berlangsung dengan gemilang, belum pernah orang menyaksikan peristiwa
semacam itu. Putera sulung Hamilton ( Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada )
termasuk anak-anak yang menerima Komuni Pertama, ayah dan puteranya sama-sama
menerima Sakramen Penguatan (Krisma), suatu hal yang memberi kesan yang
sangat mendalam. Di halaman Gezaaghebber diselenggarakan suatu perjamuan
pesta. Juga semua kepala desa / kampung diundang.”
Karena perkembangan umat Katolik sangat pesat,
maka pada 11 Oktober 1921 berdirilah Paroki Mater Boni Consilii Bajawa,
dengan Pastor Paroki pertama Pater Gerardus Schorlemer, SVD. Paroki yang baru
ini belum memiliki gedung gereja, sehingga peribadatan dilakukan di gedung
SRK Bajawa. Pada tahun 1922 sebuah gereja kecil di bangun pada lokasi gedung
Patronat MBC yang lama. Pada 19 Juni 1928 Paroki MBC Bajawa menerima surat
resmi dari kantor Van Inland Zelfbestuur yang ditandatangani oleh Raja
Peamole yang menyerahkan sebidang tanah untuk membangun gedung gereja,
pastoran dan kebutuhan lain bagi umat Katolik Paroki MBC Bajawa. Selanjutnya
pada Oktober 1928, dimulailah pembangunan gedung gereja oleh seluruh umat
dipimpin oleh Bruder Fransiskus, SVD. Bangunan gereja bergaya Gotik tersebut
rampung dan diresmikan dalam upacara pemberkatan meriah oleh Mgr. Arnold
Vestraelen, SVD pada 30 Mei 1930. Sedangkan pastoran MBC baru mulai dibangun
pada 14 April 1937 dipimpin oleh Bruder Coleman, SVD.
Ketika itu masih sering terjadi pembunuhan akibat
pertikaian antar suku. Karenanya, untuk menampung para hukuman, pemerintah
membangun rumah tahanan atau penjara atau karpus yang dalam bahasa setempat
menyebutnya “bui” atau “baru dheke”. Pada mulanya rumah tahanan dibangun
darurat berdinding seng pada lokasi yang kemudian dibangun pasar (sekarang
menjadi kantor Dinas Nakertrans). Sekitar tahun 1918 rumah tahanan berpindah
lokasi ke depan tangsi Polisi dan dibangun permanen. Gedung tersebut sampai
sekarang masih terjaga.
Untuk menjaga keamanan wilayah, di Bajawa
ditempatkan sejumlah tentara. Untuk itu, dibangun tangsi tentara Belanda yang
selanjutnya sekitar tahun 1939 beralih menjadi tangsi Polisi sampai sekarang.
Sedangkan Mapolres yang ada sekarang adalah bekas pesanggrahan yang kemudian
menjadi tempat kediaman Gezaaghebber.
Sebuah rumah sakit dibangun dalam bentuk bangunan
kayu. Bangunan ini kemudian pernah menjadi Kantor Departemen Penerangan
Kabupaten Ngada dan sekarang telah diruntuhkan dan dibangun rumah dinas.
Lokasi rumah sakit kemudian berpindah ke arah timur pada tempat Kantor
Bappeda Ngada di Jalan Gajah Mada sekarang.
Kawasan perdagangan terletak pada sisi barat
kota. Pada bekas bangunan darurat rumah tahanan dibangun pasar Bajawa, yang
ketika pasar berpindah ke lokasi yang baru sekarang, bangunan pasar lama
tersebut setelah direnovasi, digunakan berturut-turut sebagai kantor Dinas P
dan K, Dinas PU, Kantor Departemen P dan K dan terakhir ditempati oleh Dinas
Nakertrans. Kompleks pertokoan berada pada sepanjang Jalan Peamole sekarang.
Untuk kebutuhan pegawai, pemerintah Belanda
membangun sejumlah rumah pegawai yang sekarang berada di Jalan Imam Bonjol,
Jalan Gajah Mada, dan jalan di belakang Kantor Dinas Perkebunan menuju ke
arah pasar Bajawa sekarang. Sedangkan rumah tinggal Controleur yang dibangun
sekitar tahun 1928-1930, hampir bersamaan waktunya dengan pembangunan gedung
Gereja Paroki MBC Bajawa, kini menjadi rumah jabatan Bupati Ngada.
Untuk memenuhi kebutuhan air minum, diambil air
dari sumber mata air Waereke dan dibangun pula bak penampungan yang kini
masih berdiri di depan TKK Bhayangkari Bajawa.
Untuk memenuhi kebutuhan akan pekuburan, sekitar
tahun 1930, dibuka pekuburan Katolik pada lokasinya sekarang ini.
Perkembangan kota Bajawa yang bergerak ke arah
utara dan timur, mengakibatkan “ Nua Limazua ” yang sebelumnya menjadi pusat
pemukiman berada di pinggir kota. Di samping itu, sering terjadinya kebakaran
yang menghanguskan hampir semua rumah adat, terutama di kampung Bhajawa,
Bokua dan Boseka, menyebabkan mereka mulai berpindah ke lokasi yang baru
mengikuti arah perkembangan kota Bajawa. Sekitar tahun 30-an kampung Bokua
dan Boseka berpindah ke arah timur pada lokasi sekitar Kantor Kelurahan
Tanalodu sekarang dan sesudahnya berpindah lagi ke arah selatan kaki bukit
Pipipodo, pada lokasi kampung Bokua dan Boseka sekarang. Kampung Bongiso
berpindah ke arah utara bergabung dengan Wakomenge yang turun dari puncak
bukit Wolowakomenge ke tempatnya sekarang. Kampung Pigasina berpindah ke arah
timur berdampingan dengan kampung Boripo sekarang. Sedangkan sebagian dari
warga kampung Bajawa berpindah ke arah timur membentuk kampung Bajawa B,
berlokasi di sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan kampung Bajawa C,
berlokasi di kawasan Rumah Tahanan Bajawa sekarang.
Dalam struktur pemerintahan ketika itu, kawasan
kota Bajawa termasuk dalam wilayah Haminte Ngadabawa dengan kepala haminte
atau kepala mere yang pertama Waghe Mawo yang kemudian diganti oleh Nono Ene.
Wilayah Haminte Ngadabawa meliputi kawasan kota Bajawa dan kampung sekitarnya
yaitu Bhajawa, Bokua, Boseka, Bongiso, Boripo, Pigasina, Wakomenge, Wolowio,
Beiposo, Likowali, Warusoba, Watujaji, Bowejo, Bosiko, Bejo, Bobou, Fui, Seso
dan Boba. Setelah kemerdekaan, Nono Ene digantikan oleh Thomas Siu sebagai
Kepala Mere Ngadabawa melalui pemilihan langsung. Menjelang pembentukan
Daerah Tingkat II Ngada, Thomas Siu diganti oleh Paulus Maku Djawa.
|
|
C.
|
DARI KEMERDEKAAN INDONESIA SAMPAI TERBENTUKNYA
KABUPATEN NGADA ( 1945-1958 )
|
Sampai kemerdekaan tahun 1945, kawasan kota
Bajawa hanya terdiri dari kompleks gereja dan pastoran Paroki MBC, lapangan,
rumah jabatan Controleur, pesanggrahan, kantor Controleur, Sekolah Rakyat
Bajawa, rumah sakit lama, pasar lama, kompleks pertokoan lama, rumah penjara,
tangsi Polisi dan sejumlah rumah dinas pegawai. Pemukiman penduduk berada di
luar kawasan kota pada kampung-kampung sebagaimana digambarkan di atas.
Perkembangan kawasan kota Bajawa setelah
kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1950 berjalan sangat lambat. Keadaan
Negara Indonesia yang berada dalam masa perang kemerdekaan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan kota Bajawa. Hampir tidak ada perkembangan. Setelah pada
tahun 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan suasana perang
berakhir, kota Bajawa mulai sedikit bertumbuh.
Pada 5 Desember 1953, para Suster Karmel Tak
Berkasut membuka biara di Bajawa. Mereka langsung menempati pintu masuk kota
Bajawa. Kehadiran para Suster Karmel Tak Berkasut dengan Klausura Agung di
Bajawa, dengan doa dan keteladanan mereka, membawa nuansa yang khas bagi kota
Bajawa dan perkembangan Gereja Katolik di Bajawa dan sekitarnya.
Pada tahun 1954, SRK Bajawa II ( sekarang SDK
Kisanata ) didirikan. Bersamaan dengan itu, SRK Bajawa I ( sekarang SDK
Tanalodu ) yang dibangun pada tahun 1912 berpindah lokasi ke tempat sekarang.
Kedua sekolah tersebut akhirnya berdiri berdampingan, SRK Bajawa I untuk anak
laki-laki dan SRK Bajawa II untuk anak perempuan.
Pada bulan Januari 1955, Yayasan Vedapura yang
berdiri di Ende membuka Kantor Cabang Vedapura di Bajawa. Yayasan ini
menangani persekolahan Katolik untuk seluruh wilayah Ngada, Nagekeo dan
Riung, dan menempati kantornya sampai sekarang di Jalan Sugiopranoto Bajawa.
Selain Yayasan Vedapura, berdiri pula Yayasan Sanjaya yang mendirikan SMPK
Sanjaya Bajawa pada 1 Agustus 1955, sebagai SMP yang pertama untuk kota
Bajawa dan menempati lokasi pada SMPN I Bajawa sekarang.
Pada 4 Maret 1957, para Suster FMM memulai karya
mereka di bidang pendidikan, kesehatan dan karya sosial lainnya di Bajawa.
Mereka membangun biara di luar kawasan kota bagian utara, pada lokasi yang
mereka tempati sekarang di Jalan Yos Sudarso.
Luas kawasan pusat kota Bajawa mengalami sedikit
perkembangan dengan kehadiran biara Karmel, SMPK Sanjaya, Susteran FMM dan
SRK Bajawa II. Pada saat ditetapkan menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada,
kawasan pusat kota Bajawa adalah utara dengan biara FMM, selatan dengan biara
Karmel, timur dengan SMP Sanjaya dan pekuburan Katolik, barat dengan kali
Waewoki, yang kini kita kenal sebagai “ down town ” atau kota lama.
Mengenai terpilihnya kota Bajawa menjadi ibukota
Daerah Tingkat II Ngada, H. Nainawa menuturkan bahwa pada mulanya Bajawa
bersaing ketat dengan Boawae sebagai calon ibukota Daerah Tingkat II Ngada
yang akan dibentuk. Dalam suatu pertemuan pada awal tahun 1958 di rumah
jabatan Bupati sekarang yang dipimpin oleh Don J. D. da Silva yang ketika itu
sebagai pejabat dari Provinsi Sunda Kecil, Frans Dapangole dan Emanuel Lena
sebagai utusan dari Swapraja Nagekeo mengusulkan Boawae sebagai ibukota
karena lebih berada di tengah. Sedangkan utusan dari Swapraja Ngada, A. J.
Siwemole dan H. Nainawa serta Jan Jos Botha sebagai Ketua Partai Katolik
Ngada mengusulkan Bajawa sebagai ibukota dengan pertimbangan sejarah yaitu
bahwa Bajawa pernah menjadi ibukota Onder Afdeling Ngada dan sudah tersedia
rumah jabatan serta kantor-kantor peninggalan Onder Afdeling Ngada.
Bajawa kemudian ditetapkan menjadi ibukota Daerah
Tingkat II Ngada dengan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958, dan
peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 1958.
|
( ditulis oleh Bapak Domi Mere Wea)
Komentar
Posting Komentar